13 December 2013

Travel : "Bermalam di Pantai Alam Biru"

Friday, December 13, 2013
“Ingin rasanya bangun pagi disambut oleh bentangan samudra dan sejuknya udara selat malaka…” Ya, begitulah kira-kira hasrat saya beberapa bulan silam.

(Halo)

Tafakkur Alam
Benar saja hasrat itu kian menggebu, di akhir pekan yang lalu saya mencoba meluangkan waktu dengan menikmati alam. November 2013  benar-benar menguras energy, jadi harus menepi sejenak ke tempat sunyi. Bertafakkur alam sembari mencari benih-benih inspirasi.

Adalah Citra Rahman, seorang Backpaker sejati yang menjadi rekan saya tafakkur alam kali ini. Jauh-jauh hari saya sudah terlebih dahulu “mencarter” beliau untuk menunjukkan saya tempat yang seru untuk kemping. Inisiatifnyalah kami menuju suatu tempat nun jauh bila berjalan kaki, “Pantai Alam Biru” namanya.

Sabtu sore, selesai mem-packing segala jenis peralatan kami pun bergegas berangkat. Anggota kemping bertambah menjadi 4 orang. Dari Banda Aceh motor melaju kencang. Langit tampak mendung, besar harapan saya semoga tidak hujan. Dan setelah 1 jam perjalanan, kamipun tiba di tempat yang dituju.

(Batu Karang) 

(Teman-teman sedang mendirikan tenda)

Bermalam di tebing yang menjorok ke laut
Selesai mendirikan tenda, langit kian redup, kami turun dari tebing ke pantai menyempatkan diri untuk berenang sejenak berbasuh diri dengan asinnya air laut. Airnya bening, bersih, dan sejuk.

Matahari tenggelam, sajadah tergelar di puncak tebing yang menjorok ke samudra. Selesai wudhu’ saatnya menghadap wajah ke yang mahakuasa. Ada keteduhan disini, bulu kuduk berdiri, ingin rasanya berlama-lama sujud. Ini yang saya cari, ini yang saya inginkan dari perjalanan ini.

(Barak) 

(Laut Biru)

Selesai shalat magrib, kami bergegas menyantap roti telur bikinan cheef Citra Dkk, seduhan secangkir Coklat Panas melengkapi lembutnya udara malam ini. “Cuaca mendung, seandainya cerah kita bisa ngeliat bintang-bintang langit yang berlarian” kata bung citra. “Tidak masalah, ada bulan purnama yang menerangi kita” gumam saya.

(Wush kompor menyala) 


(Roti Telur)


(Bulan mengintip di balik awan)

Malam yang sejuk
Dari kejauhan tampak kerlip lampu perahu nelayan, kapal-kapal buang sauh di dermaga. Sorot lampu mercusuar sesekali menyinari penginapan kami di puncak tebing yang menjorok ke laut lepaspi unggun menerangi wajah-wajah yang keletihan karena berenang. Ada 3 personil yang menyusul kami, semakin ramai saja, canda dan tawa teman-teman memecah keheningan malam yang sunyi. Riak-riak menderu pecah menerpa batu karang melengkapi kebersahajaan malam.

(Nelayan menjala ikan di kegelapan malam) 

(Kemah)

Sesaat saya meninggalkan kelompok, duduk menyendiri di bibir tebing menatap cahaya kapal nelayan yang sedang menjala ikan di tengah laut luas. Saya tertegun, dalam kegelapan mereka menjala ikan, mencari rezeki dari lauta tuhan. Anak istri menunggu sang ayah yang sedang mencari sesuap nasi untuk esok pagi. Begitu besar pengorbanan seorang ayah.

 Malam semakin larut kamipun bergegas tidur, semua masuk tenda kecuali bung Citra. Ia memilih tidur di luar bersama api unggun dan kantung tidurnya. Mungkin diluar sejuk. Selamat malam bung!.

(Api unggun)

Snorkling
Angin sepoi-sepoi menerpa atap tenda, mentari pagi perlahan merayap dari sela-sela rongga atap. Selamat pagi, pagi yang sejuk. Udara bersih di pagi hari merupakan anugerah terindah dari sang pencipta.

 (Mentari menyelinap)



(Selat Malaka dengan sejuta cerita masa lalu Nusantara)


Saya bergegas turun ke pantai untuk berenang. Snorkling di pagi hari tentu sangat mengasyikkan.
Ada banyak jenis terumbu karang yang tumbuh subur disini, ikan-ikan dengan berbagai corak dan warna berenang menari kesana kemari. Dari beberapa speisies ikan ada yang agak asing di mata saya, siripnya besar, matanya kecil, sisiknya berwarna-warni. Benar-benar indah.


(Berenang menyambut mentari)

Puas berenang, kami bersantai dibawah rindangnya pohon. Meneguk secangkir kopi, dan sepotong roti bakar berlapis telur.

(Bersantai di bawah rindangnya pohon) 


(Angin sepoi-sepoi)

Tanpa terasa jam menunjukkan angka 14.00, saatnya bungkus barang bawaan dan bergegas pulang. Sebelum pulang, kami melakukan operasi semut. Berkeliling mencari sampah-sampah yang tersisa karena dihempas angin. “Sampah tak boleh ada, tempat yang indah ini tak boleh kotor. Kalau bukan kita yang menjaganya lalu siapa?” mungkin itu pesan sebelum kami bergegas angkat kaki. 15 menit kemudian semua sudah tampak aman dan rapi, kamipun melaju pulang.

(Sampai jumpa)


Sampai jumpa, suatu saat saya akan kembali kesini. Bangun pagi, bersantai di kursi lipat, ditemani segelas susu panas, menikmati mentari pagi dari tingginya tebing yang terbit dari ujung selat malaka.

26 November 2013

Travel: “Sunset Pantai Lhok Nga”

Tuesday, November 26, 2013
(Jeprett)

Bicara keindahan pantai di Aceh memang tak pernah ada habisnya. Pantai yang bersih lagi elok itu benar-benar mengundang decak kagum pengunjung yang datang dari berbagai arah mata angin. Tsunami yang menghantam pantai Lhok Nga beberapa tahun silam tak mengubah keindahan pantai tersebut. Siapa yang tidak tahu pantai Lhok Nga, salah satu spot yang asik untuk anda yang hobi surfing di pantai yang berombak besar namun tak ganas.

(Nah... Ini Saya..)


Hari semakin petang, pantai Lhok Nga kian ramai saja. Sunset di pantai Lhok Nga menjadi daya tarik para pengunjung untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Menikmati matahari yang kembali ke peraduan sungguh menjadi pemandangan yang tak terlupakan.

(Sunsetnya syahdu)



Di seputaran pantai Lhok Nga terdapat Musalla, bagi anda yang hendak menikmati sunset tanpa kehilangan waktu shalat magrib anda silahkan mampir di Musalla yang tidak jauh dari pantai. Ayo ke Lhok Nga. Ayo ke Aceh. Wisata Islami indah nan asri.

13 October 2013

Food : Ayam Pramugari

Sunday, October 13, 2013
Apa yang terlintas dipikiran anda ketika mendengar “Ayam Pramugari”? penafsiran tentu akan beragam tergantung latar belakang pendidikan anda. Bagi anda yang berpendidikan SMU sederajat akan berasumsi Ayam tersebut berwujud PRAMUGARI, “waw”. Bagi anda yang yang sedang menyusun skripsi guna memperoleh predikat sarjana pasti akan berasumsi bahwa Ayam tersebut dipelihara oleh Pramugari di bagasi pesawat, setiap landing ayam tersebut diberi makan dan di ambil telurnya. Namun saya pribadi awalnya berasusmi bahwa ayam ini dijual oleh pramugari-pramugari yang kurang kerjaan plus untuk mengisi kekosongan waktu disaat pesawat delay.



Berhipotesa boleh-boleh saja, namun tak boleh berspekulasi, harus ada semacam penelitian di lapangan. Akhirnya dengan segenap daya upaya saya merumuskan beberapa rumusan masalah untuk menyibak misteri “Ayam Pramugari”. Dan… 3 hari kemudia saya terjun langsung ke lapangan untuk meng-investigasi.



Kendaraan melaju ke Bandara Sultan Iskandar Muda – Blang Bintang, sesampai di pintu masuk bandara tampak tiga warung makan yang menyampingi kiblat. “Ah, saya yakin inilah warung yang ingin saya tuju”. Kemudian saya masuk ke warung tersebut dan tanpa basa-basi saya pesan seporsi ayam fenomenal itu. Sejurus kemudia, ayamnya pun landing di meja saya.




Oh no, setelah menyensor hidangan tersebut saya terkejut bukan kepalang, ternyata tidak demikian. Semua misteri tersibak sudah disaat saya melihat langsung paha si pramugari, oh maaf maksudnya paha Ayam Pramugari yang tehidang lezat di depan saya itu.

Tak mau berlama-lama, liur sudah membanjiri meja. Saya menyantap lezat ayam tersebut tanpa ampun. Lezat dan gurihnya itu serasa beneran terbang ke awan bersama pramugari.



Setelah perut terisi penuh, akhirnya saa mengkonfirmasi ke si empunya warung ternyata istilah tersebut tidak benar. Oh what? Ternyata namanya “Ayam Kampong Goreng Bandara Lama”. Ah, saya tertipu dan malu sama si empunya warung.

*Ini cerita ketika perut keroncong, data dan fakta yang ada dalam cerita ini 70,2% valid, selebihnya terserah anda.

Food : Sate Matang Kuliner Khas Aceh

Sunday, October 13, 2013

Sate Matang salah satu sajian kuliner Aceh, sate ini terbuat dari potongan-potongan kecil daging kambing yang diracik dengan bumbu khas Aceh. Sop hangat dan bumbu kacang menjadi pelengkap kelezatan sate yang satu ini. Sate Matang ini cukup populer di Aceh karena citarasanya yang lezat nikmat membahana. Istilah “matang” itu sendiri merupakan daerah asal si sate yakni Matang - Kabupaten Aceh Utara (bukan istilah mantang masak/matang lunak).




Untuk menikmati Sate Matang tak perlu risau karena harganya cukup terjangkau, perporsinya hanya Rp 10.000 – Rp 25.000,- tergantung jumlah tusuk. Nah, bagi anda yang punya rencana berkunjung/jalan-jalan ke Banda Aceh, seputaran Penayong merupakan tempat yang saya rekomendasikan untuk menikmati kuliner yang satu ini.



7 October 2013

Food : Es Buah Jantho

Monday, October 07, 2013
Pagi itu saya melaju kencang dari Banda Aceh ke Jantho untuk menemani teman yang akan meng-apply beasiswa di Pemkab Aceh Besar. Perjalanan lebih kurang 1 jam itu cukup melelahkan saya yang akhir-akhir ini jarang berkendaraan jauh.

Jantho merupakan ibukota Aceh Besar, kota Jantho menjadi pusat pemerintahan yang menaungi beberapa kecamatan diantaranya Krueng Barona Jaya, Pulo Aceh dan lain sebagainya. Kota jantho terletak di perbukitan yang rindang, kota yang cukup sejuk untuk ditempati. Namun Kota Jantho ini terbilang kota kurang meriah alias kota sepi. “Lha kok bisa?” saya juga tidak mengerti, ada 129 kemungkinan kenapa kota ini tidak berkembang pesat dibandingkan kota-kota lainnya, namun saya tak mampu menyebutkan satu persatu kepada anda.





Sesampai di Jantho dan selepas mengurus berbagai berkas aplikasi beasiswa kamipun singgah ke salah satu warung rujak dan es buah. Ini dia sajian kesukaan saya. Kesegaran alam jantho terasa kian segar dengan dihidangnya es buah. Yummy…





Ada berbagai jenis buah segar yang dipadu dengan sambal kecap lezat diantaranya buah kasma, nenas, mangga, timun, jambu air, semangka dan wortel. Harganya pun terbilang sesuai dengan sajian. Anda tertarik? Ah.. Saya jamin, es buah Kota Jantho ini beneran nikmat apalagi disiang bolong. Ayo ke Jantho! : )

Travel : Pantai Punyu laksana "Private Paradise"

Monday, October 07, 2013

Sudah pernah ke Pulau Aceh? Sebuah pulau dengan sejuta keindahan yang memukau mata setiap insan manusia, semua mata akan terpikat dengan keindahan alam Pulau Aceh, termasuk saya. Pegunungan yang asri, pantai yang bersih, serta laut nan biru begitu menggoda mata anak manusia yang haus akan petualangan alam.





Kali ini saya berkesempatan jalan-jalan menjelajah dari sudut ke sudut Pulau Aceh. Dan tempat pertama yang saya kunjungi yaitu “Pantai Punyu”, pantai ini terletak di Desa Serapong (Pulo Breuh) Kecamatan Pulo Aceh. Untuk mencapai pantai tersebut saya harus naik-turun bukit lebih kurang 1.5 jam dari pelabuhan Serapong. Kata teman saya yang kebetulan warga setempat, pantai ini jarang di kunjungi wisatawan karena keberadaannya belum begitu terpublikasi, tak heran pantainya begitu bersih dan alami namun tak banyak diketahui orang.











Sesampai di pantai punyu, mata saya benar-benar terbelalak. Pemandangan pantai punyu menyuguhkan pemandangan alam yang tiada duanya. Pantai yang di himpit perbukitan ini begitu teduh dan tentram. Pasir putih berpadu ombak biru mennggoda saya untuk “nyemplung”. Sekejap saya bergegas dengan alat Snorkling, sayapun berenang riang gembira.















Ampun, pemandangan bawah air pantai punyu sungguh eksotik, berbagai jenis ikan menari-nari disekitar saya. Terumbu karang yang tumbuh lebat berwarna-warni melengkapi keindahan alam Pantai Punyu. Sayangnya saya tidak bisa mendokumentasikan pemandangan bawah air.
Lelah berenang, bersama teman-teman saya menyantap ikan hasil pancingan. Ikan tangkapan kami bakar dengan bumbu sedap ala “Cheef Arabian” yang sudah berabad-abad tinggal di Aceh. “Ini benar-benar-benar liburan, pantai ini seakan milik kita sahaja” celoteh saya dibarengi tawa teman-teman.














Tidak terasa senjapun tiba, cuaca yang tadinya cerah berubah mendung. Hujan lebat mengguyur pantai, air hujan yang turun dari perbukitan membuat kami sulit bertahan. Karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk bermalam, akhirnya kami kembali ke desa dan bermalam dirumah salah seorang rekan saya. “Pantai Punyu sungguh indah, tunggu kedatangan saya di lain waktu”. :)

23 September 2013

Travel : Bertahan Hidup di Pulau Tak Berpenghuni

Monday, September 23, 2013
(Siang nan cerah di Calang)

Siang hari nan terik saya dan paman saya berencana untuk memancing. Selama seminggu penuh saya berada di Kab. Aceh Jaya khusus untuk mencari spot-spot memancing yang asik. Ini hari ke-4 saya di Kec. Tenom, dan hari ini kita berencana untuk mancing di pulau tak berpenghuni.

Stok makan sudah lengkap, kami berencana bermalam di pulau tersebut, bersama teman paman saya kita berangkat ke pulau jam 18.20 wib. Untuk menuju palau tersebut kami diantar oleh nelayan setempat, dan akan dijemput esok hari.


(Go..)


(Meninggalkan Daratan)


(Video: Menuju Pulau)


Sesampai di pulau, kami bergegas menyurusi hutan belantara di remang-remangnya sore. Matahari kian redup, dan akhirnya kami tiba di bagian barat pulau. Batu karang menjulang tinggi, ombak keras menghantam keras bebatuan pantai. Saya begitu terkesima, ini pertama kalinya saya berpetualang di pulau tak berpenghuni.


(Membelah hutan belantara)

(Saya sedang menikmati deru ombak)


(Paman saya dan temannya lagi siap-siap mancing)

(Ambil pose dulu)

(Uncle semangat sekali)

(Hendak "sujud" di puncak tebing) 


(Pantai)


Waktu sahlat magrib pun tiba, setelah mengambil air wudhu saya shalat di puncak tebing yang berbatas dengan laut lepas. Suara pecahan ombak, matahari yang perlahan tenggelam membuat pikiran saya menerawang entah kemana. Begitu agung ciptaan sang khalik. “Suara” alam menghanyutkan saya dalam zikir untuk yang mahakuasa. Benar kata rekan-rekan saya, Allah akan terasa semakin dekat manakala engkau melihat ciptaannya dengan mata dan hati.Kini matahari tenggelam tak berbekas, langit yang tadinya merah cerah tampak gelap gulita. Mata pancing sudah dilempar berkali-kali namun tak pernah tersangkut di mulut ikan melainkan di bebatuan. Memancing butuh kesabaran yang ekstra.


(Nah.. Ini ikannya)


Kami berpencar agak berjarak, tiba-tiba “strike” sebuah ikan menyambar mata kail. Ikan tampak besar, cukup sulit mengangkat kedaratan karena tersangkut batu karang. Namun dengan penuh penuh perjuangan, ikan perdana untuk lauk santapan ini mendarat di pelukan.
Jam 21.00 wib kami menyusuri hutan belantara, berbekal senter kecil kami bergegas ke pantai yang landai untuk membakar dan menyantap ikan perdana. Sampai di pantai kami menyalakan api. Api yang membara mampu menghangatkan malam nan dingin. 


(Bakar...)

(Ikan Kecil First)

Desiran ombak begitu bergemuruh, bintang tertutup awan, sepertinya mendung akan tiba.

Dan…

Benar saja, kerlip listrik tuhan perlahan membelah langit dari arah timur. Gemuruhnya keras lebih keras dari gemuruh ombak. Keras, semakin keras membelah langit. Badai datang, sekejap api yang besar padam seketika. Bulir air jatuh deras dari langit, kami berteduh dibawah pohon cemara. Saya panik. Kami tidak membawa tenda, alasan pertama karena siang hari tadi tampak cerah dan yang kedua agenda kami kesini untuk mancing bukan camping.

Hujan semakin deras, kabut tebal menyelimuti pepohonan, angin meronta-ronta memukul ranting dan dahan, kilat halilintar menyambar-nyambar bersahutan. Kami benar-benar panik. Sekujur badan basah diterpa hujan. Terlintas untuk pulang, “pulang pakai apa? Jalan kaki?” canda kami untuk menghibur diri.

2 jam sudah kami tak mampu berbuat banyak, badai semakin keras tanpa henti. Kami berjalan menyusuri pinggiran bukit untuk mencari sesuatu sebagai alat untuk berteduh. Dalam keputus asaan kami menemukan sebuah triplek ukuran skitar 1,5 m x 1,5m. Triplek tersebut kami ikat dengan tali pancing ke ranting pohon untuk berteduh.


(Pagi hari)

(Tadi malam disini begitu mencekam)

(Disini kami bernaung, bertahan hidup)


(Video: Hujan yg tak kunjung berhenti selama 12 jam)


Bibir putih, telapak tangan mengerut tak berbentuk, badan yang basah kuyup bergetar melawan dingin malam. Badai mengamuk tanpa ampun. Berjam-jam sudah kami menunggu pagi. Tak tahan rasa lelah, saya berbaring dalam derasnya air lumpur yang turun dari kaki bukit. Saya Cuma bisa bertasbih, berdo’a. Semua seakan seperti mimpi. Hingga Jam 24.00 wib badai tak kunjung reda.


(Menggigil)


(Selamat Pagi)


Beberapa saat kemudian saya mulai berhalusinasi, badan seperti terangkat, dan berdiri tegak. Saya seakan bisa terbang. Saya terbang rendah tanpa neginjakkan kaki di tanah, mengelilingi pulau untuk mencari ikan. Saya lupa rangkaian utuh dari mimpi saya itu, namun ketika terjaga dari halusinasi letih saya seakan sedikit pulih. Jam menunjukkan angka 03.17 wib, hujan belum juga reda. Saya berdo’a “Ya Allah, jikalau saya mati dalam pelukan bulir Kristal dingin ini, saya sudah memaafkan semua dosa dan khilaf teman, saudara dan keluarga saya. Ampuni mereka, terimalah amalan saya.”







(Pagi hari, sekitar jam 9, masih hujan)


*Hujan reda sekitar pukul 09.20 wib, boat nelayan yang mengantar kami tiba ke pulau sekitar pukul 10.00 wib. Kami pulang dalam kebisuan. Tak banyak kata, tak banyak suara.


(Saya menunggu jemputan)

(Pulang)

(Pulang)



(Video: "Sampai Jumpa Pulau!")


INI PULAU NYA

(Pulau ini di Calang - Aceh Jaya)


About Us

Recent

recentposts

Random

randomposts